Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu pertama – Sekitar rumahmu.
Saya pernah menulis beberapa tahun lalu tentang betapa seringnya saya berpindah-pindah kost, bahkan beberapa teman saya menjuluki saya nomaden hahahha 13 kali berpindah kost dalam kurun waktu 15 tahun sejak saya meninggalkan rumah orang tua saya di Palopo sana. Entah berapa banyak cerita yang terjalin dalam kurun masa itu, suka dan derita. Dan semua cerita itulah yang menempa diri saya menjadi lebih cair dan lebih mampu membuka diri.
Tapi di sini saya tidak akan berbagi kisah tentang sekian banyak kost tersebut. Bagaimana pun saya masih punya sebuah tempat yang saya sebut rumah, meskipun sejatinya rumah tersebut adalah milik orang tua saya. Di sana, di sebuah desa yang semakin berkembang menuju kota kecil bernama Batusitanduk, Kec Walenrang. Desa yang kemudian saya sebut sebagai kampung halaman.
Tahun 60-an, orang tua saya berpindah dari Larompong ke Batusitanduk karena terjadi pemberontakan pada masa itu. Larompong adalah kampung halaman Ayah saya (saya memanggilnya Opu). Di Batusitanduk, keluarga kecil kami disambut oleh Pak Runtuk, sahabat Opu yang pernah ditolongnya pada masa gerombolan ketika Opu masih menjadi Kepala Wanua Larompong, dan dipanggil untuk menjadi guru sekolah dasar.
Entah berapa kali kami berpindah rumah, hingga akhirnya menetap di belakang kantor pos Batusitanduk sampai sekarang. Karena letaknya di belakang jalan poros Sulawesi, lingkungan sekitar rumah agak sepi dan hanya ada beberapa tetangga. Sebagian besar tetangga kami berasal dari Toraja dan tentu saja beragama Nasrani. Bisa dibilang bahwa keluarga kami adalah minoritas di antara tetangga sekitar yang semuanya beragama Nasrani.
Di samping kanan rumah ada keluarga Mak Eko. Di samping kiri rumah, ada keluarga (alm) Pong Bijak/Nek Lori dan di belakang rumah berbatasan dengan pagar kantor Pos. Di depan rumah ada sebuah sungai kecil (pengairan) yang membatasi dengan 2 rumah tetangga, keluarga Mak Abri dan (alm) Nek Pekki. Jika memandang agak jauh, maka yang ada hanya persawahan dan bukit kecil. Tidak jauh dari rumah sekitar 50 m, ada kampung Bugis. Bisa ditebak bahwa penghuninya adalah orang-orang bugis yang merantau ke Batusitanduk dan kemudian membentuk kampung di dalam kampung, kebanyakan profesi mereka adalah pedagang dan belakangan makin banyak yang jadi guru atau PNS. Melewati kampung Bugis, ada masjid Al Mawasir, yang kumandang adzannya masih bisa terdengar hingga ke rumah saya. Meskipun suara pengumuman dari toa masjid menjadi kurang jelas terdengar sejak menara Masjid ditinggikan.
Ada dua gereja di sekitar lingkungan rumah, Gereja Katolik dan Protestan. Dua-duanya terletak di jalan poros Sulawesi. Ketika masih SD dulu, saya sering mengintip di jendela gereja pada malam Natal, menyaksikan mereka berdoa dan bernyanyi dalam vokal grup atau menyaksikan pentas drama kelahiran Yesus dalam bahasa Toraja yang diperankan oleh teman-teman kecil saya. Saya bahkan hapal dialog dan jalan ceritanya pada waktu itu karena setiap tahun saya menonton dari balik jendela baik di gereja Katolik maupun Protestan.
Ada semacam tradisi menarik di hari raya keagamaan yang masih tetap dijalankan oleh mamak dan para tetangga, saling berkirim hidangan hari raya. Ketika lebaran tiba, mamak saya akan sibuk menghitung berapa ayam yang akan dipotong dan dibagikan ke tetangga-tetangga. Ayam kari/kecap, buras, sup, kue-kue dan tape ketan hitam. Selepas sholat Ied dan makan siang, ponakan dan kakak saya akan jadi kurir yang bertugas mengantarkan rantang-rantang tersebut ke rumah-rumah tetangga sekitar, sekitar 9-10 rumah. Saya? Duduk manis di dapur, bertugas mencuci dan mengisi kembali rantang sebelum diantarkan untuk tetangga yang lainnya. Ketika Natal dan tahun baru tiba, bisa dibayangkan berapa banyak hidangan yang diantarkan ke rumah. Terkadang ada tetangga yang mengantarkan kue-kue saja atau bahkan ayam hidup karena mereka memasak makanan yang tidak halal untuk kami makan.
Tradisi saling mengunjungi pada hari raya juga masih berlangsung. Saat lebaran, rumah akan ramai dikunjungi oleh tetangga (istilahnya massiara), baik anak-anak ataupun orang tua mereka. Anak-anak biasanya massiara pada siang-sore hari sedangkan orang tua mereka pada malam hari. Ketika kecil dulu, saya juga massiara ke rumah mereka saat Natal dan Tahun baru tiba. Sambil mengetuk pintu rumah tetangga, saya berteriak “salama’ tambaruuuu” :))
Oya, tentang babi. Di lingkungan gereja katolik ada beberapa keluarga yang memelihara babi di dalam beberapa kandang. Ketika kecil dulu, saya sering sekali menjenguk babi-babi itu, menonton mereka dimandikan atau diberi makan. Pernah ada keluarga yang berkunjung ke rumah, anak mereka saya ajak ke kandang babi dan dia histeris hahahah
Hidup di antara keluarga Nasrani pernah membuat saya sangat khawatir akan keselamatan Mamak dan kakak saya ketika tejadi kerusuhan SARA di Tarue’ yang hanya berjarak tidak sampai se-jam dari Batusitanduk. Waktu itu saya sudah tinggal di Makassar. Tapi kata Mamak saya, tetangga menenangkan hatinya dan berkata tidak usah takut. Ketika Opu saya meninggal dunia tahun 2006, keluarga dari pihak Mamak sempat “memaksa” untuk pulang saja ke kampung halaman nenek tapi mamak saya menolak. Katanya, di sini penghidupan saya, di sini Opunya anak-anakku di kuburkan dan saya tidak mungkin meninggalkannya sendirian.
Satu pesan mamak yang selalu dan tidak bosan-bosannya disampaikan: di manapun kalian berada, berbuat baiklah kepada tetanggamu karena merekalah yang akan menjadi keluarga terdekat. Ketika kalian tertimpa musibah, merekalah yang akan kalian mintai pertolongan pertama kali, bukan mamakmu yang jauh di sini. Keluarga terbentuk tidak hanya karena darah tetapi juga karena sikap dan tinggah laku kita. Karena itu berbuat baiklah ke sekitarmu.
lingkungan rumah yang menawan…bikin iri 🙂
iye, sama2 iri maki hihihi
Menarik. Hidup sebagai kaum minoritas, tapi toleransi antarsesama masih terjaga baik…Pengen ke kampungnya..hehhe
hayuk, boleh kok berkunjung ke kampung saya, ada rumah siap menyambut di sana 🙂
penasaran sama kandang babi 😀
sini sa ajak pi kandang babi hahahhaha
suasana kanan kirinya adem ayem mbak.. nah jika tahu ada sebuah kerukunan antar agama macam di daerah sampean, kenapa masih ada ya konflik yang mengatasnamakan agama.?
salam kenal mbak dari Jember.. semoga sukses
Tergantung pribadi-pribadi yang menjalani mungkin 😀 salam kenal juga
ternyata suasana dan bentuk kampung (desa) nya sama dengan di daerah jawa tengah ya… adem dan sepi
Iya, tapi akhir-akhir ini mulai ramai katanya. makasih sudah mampir ya 🙂
Kisah bertetangga yang harmonis ya Nie. Buat orang yang belum pernah lihat babi, tiba2 melihat banyak babi pasti seram ya 🙂
iye kak, saya langsung dimarahi karena nangiski hahahaha kaget kayanya 😀
ada mak Eko, sy kira ada saya dsna 😀 adem baca ini tulisan ta kakak.
eh ngemeng2 sa sudah cek itu setting comment, nda ku tauki juga ka nda da ji ku kaccaki 😀
mamak eko, tetangga di kampung 😀
Sa dapat mi setting komennya hihihi, ternyata ada yg sa lupa centang 😀
Beragam itu indah… :).
eh, makasi kk Nanie sudah singgah di blog ku… salam kenal… saya sangat senang jika kelak diajak belajar menulis.
Salam kenal juga 🙂 kapan-kapan bolehlah ketemuan kopdar-kopdar sama teman2 AM 🙂
tinggal di desa, alamnya indah, udara segar, warganya ramah…enaknya^^
iya, dan kekeluargaanya juga masih erat, rata-rata orang masih saling kenal 🙂
kapan-kapan ajak ke sana, kakak Nanie..
siap kk ndy, kapan saja kita mau 🙂
Syukron Nanie, karena telah berkunjung ke blogku, hehehe jadi serasa wajib kunjung balik, kalau perlu di subscribe, yee…
Yang ingin saya komentari yaitu, Ternyata Nanie dari Palopo ya?, selama ini saya dapat info kalau Nanie dari Bone, hehehe..,
Trus tentang Agama Nasrani, apakah sama dengan kristen dan protestan?, setahu saya Nasrani atau Nasaro, Yahudi, dan ahli kitab, masing2 ada definisinya, tapi okelah saya mengertiji…hehehe.
dan ….
Suasana alam desa yang difoto2 bikin ngiler, karena suasanannya sepertinya masih asri, kalau pagi pasti dinginya enak, bukan dingin karena AC. dan kicauan burung, kokok ayam pasti terdengar, beda dengan di ibukota, pagi2 sudah meraung2 klakson dan mesin2 kendaraan, bikin tingkat stress makin tinggi, untunglah karena sudah belajar metafisika atau agama yang logis, sehingga mengurangi atau insya Allah menghilangkan stress, allahumma aamiin..
Sukses ya….
Sebagai orang awam, saya pahamnya sama, entah kalau ternyata ada defenisi berbeda, nanti saya cari tau lagi 🙂
Iye, suasananya memang masih asri meski akhir-akhir kalau siang hari juga sudah panas sekali. Terima kasih sudah berkunjung 🙂
Suka kalimat ini…. “Karena itu berbuat baiklah ke sekitarmu.”
Mbaknya kapan ajak saya ke sana? 😀
Btw, 13 kali pindah kost selama 15 tahun? Pindah lagi 2 kali biar sama kayak tahunnya, hihihi
hayukkk, pintu rumahku terbuka kapan saja dan buat siapa saja *kecuali maling* hihihihi.
Mariiiiii
*mauja “me-reply langsung”, hihihi*
mwahahahha sana sanah, belom boleh berkunjung, tulisan minggu ke3 belom selesai hahahha cuman posting satu paragraf trus setor link :)) sekarang mau diedit duyuuuu :))
weh…….pingin kesana jalan-jalan Nan…….sering dengar Batusitanduk, dan pernah lewat waktu ke Palu via Trans Sulawesi, nice story.
hayuk Om Dodo, kabar2i saja kalau mau mampir 🙂