Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu ketiga – Perempuan Inspiratif
Ketika ditanya siapa perempuan yang menginspirasimu, biasanya sih rata-rata jawab: Ibuuuuuu. Kan kan? 🙂 Tadinya saya ingin menulis tentang seorang perempuan lain, tapi kejadian malam ini mengubah pikiranku. Iya, saya juga ingin bercerita tentang Mamak saya, seorang Ibu yang tangguh 🙂
Mamak saya namanya st Aisyah, istri ke-dua dari seorang lelaki bernama Andi Tarawe Opu Daeng Silasa. Jarak usia Opu dan mamak saya cukup jauh, sekitar 30-an tahun. Ketika istri pertama Opu meninggal, mamak saya dilamar dan tanpa sepengetahuannya lamaran tersebut diterima oleh kedua orang tuanya.Dan begitulah, dari seorang gadis yang bebas, mamak saya tiba-tiba menjadi seorang ibu beranak empat. Iya, ada 4 orang anak dari istri Opu yang pertama, dan anak sulungnya hampir seumur dengan mamak saya.
Setahun menikah lahirlah seorang bayi laki-laki, si sulung. Setahun kemudian, menyusul seorang bayi perempuan, 2 tahun kemudian seorang bayi laki-laki dan 7 tahun kemudian, saya lahir, si bungsu.
Sependek ingatan saya, sejak kecil, mamak selalu meninggalkan kami untuk bekerja. Saat saya masuk SD, Opu sudah menjadi seorang pensiunan guru. Sudah tua dan tidak sanggup lagi kerja berat. Sementara ada 4 orang anak yang harus dibiayai.
Opu saya, jika kalian melihatnya, kalian akan menebak bahwa beliau tidak biasa bekerja berat. Tangannya halus. Kulitnya putih dan saya suka sekali melihat betisnya, kecil seperti padi bunting kata peribahasa. Ketika masih SD dulu, saya biasa menemani Opu bersepeda ke kebun, mengurus pohon coklat di kebun dan membawa pulang kayu bakar.
Karena Opu semakin tua, jadilah mamak mengambil alih menjadi tulang punggung keluarga, mulai berdagang kain keliling. Mengangkat buntelan berisikan barang dagangan dan berjalan di bawah terik matahari, dari rumah ke rumah, dari kantor ke kantor dan dari desa ke desa. Saya ingat sekali, waktu itu belum ada ojek dan mamak belum pake tas. Jadi baju-baju, sarung, seprei dan lain-lain dibungkus dengan kain taplak lalu diikat seperti buntelan.
Mamak berdagang kain sudah bertahun-tahun hingga detik ini. Hanya saja, sekarang sudah ada ojek yang bisa mengantar ke mana-mana jadi tak perlu lagi jalan kaki. Mamak juga sudah tak sekuat dulu. Dalam seminggu bisa dihitung jari beliau keluar membawa barang dan menagih. Sekarang, kebanyakan langganan mamak biasanya ke rumah jika ada barang yang baru datang.
Kemarin, mamak datang ke Makassar untuk mengambil barang. Saya sedih, keriputnya makin banyak. Dan yang membuat saya menangis adalah saya masih belum mampu menahan emosi tiap kali berdebat tentang sesuatu dengan mamak.
Bertahun lalu, saya pernah menuliskan tentang mamak. Bagaimana saya selalu membantah setiap keputusan yang diambil untuk saya. Meskipun pada akhirnya saya menurut, tapi biasanya akan terjdi perdebatan keras antara saya dan mamak. Saya menyesalinya, sungguh! Menuliskan ini saja sudah membat saya menangis.
Entah mengapa, setiap kali “berdiskusi” soal apapun dengan mamak, saya masih juga suka membantah. apalagi bila tidak sesuai dengan jalan pikiran saya. Setelah itu saya akan menyesali semua perkataan yang saya keluarkan, dan menangis.
Kata mamak kemarin, dengan nada bercanda, kau memang keras kepala dan cerewet, mannyennyo-nyenyo kalo diajak bicara. Waktu itu saya tertawa.
Hanya dua hari mamak di Makassar, kemudian pulang ke Palopo. Dan entah mengapa, kedatangannya kali ini membuat saya berpikir tentang banyak hal. Tentang masa depan, tentang keluarga, tentang hal-hal yang sebelumnya tidak pernah ada dalam pikiran dan tidak pernah terlintas bahwa suatu hari saya akan memikirkan ini.
Mamak semakin tua. Sedih rasanya melihatnya tidur meringkuk, sesekali batuk menderanya. Bertahun-tahun menjadi tulang punggung keluarga membuatnya tampak lebih cepat tua. Saya, saya belum mampu memberi apa-apa. Belum mampu membantu secara materi, belum mampu memberi apa yang diinginkannya.
Saya memang tidak terlalu dekat dengan beliau sejak kecil, saya bahkan pernah berpikir bahwa mamak hanya sayang kepada kakak-kakak saya. Tetapi kejadian demi kejadian membuat saya tersadar, mamak menyayangi saya dengan caranya sendiri. Cara berbeda yang mungkin belum saya pahami. Beliau memang tidak selalu ada, tapi kasih sayangnya akan selalu hadir.
Mamak saya, seorang Ibu yang tangguh, mampu menanggung beban sedemikian berat. Mamak saya memberi inspirasi pada anak-anaknya bagaimana seharusnya seorang Ibu.
Jadi jangan pernah tanyakan siapa perempuan inspiratifku. Karena dengan pasti saya akan menjawab, mamak! Masih mamak dan belum berubah. Inspirasi tentang tangguhnya perempuan menanggung beban hidup, menghadapi masalah keluarga yang sedemikian berat dan tetap bertahan demi anak-anaknya. Dia, mamakku, perempuan inspiratifku.
horeeee…akhirnya selesai juga ;))
btw koq jadi terharu membacanya yaks
tisu mana tisu…..
It’s a pity you don’t have a donate button! I’d most certainly donate to this fantastic blog! I suppose for now i’ll settle for book-marking and adding your RSS feed to my Google account.
I look forward to new updates and will share this website with my Facebook group.
Chat soon!
Singgah..
Mengusap sudut mata yg basah…
makasih sudah mampir 🙂