Rasanya beratttt skali nulis tentang ini di blog tapi saya betul2 butuh menulis dan meluapkan semua isi hati.
Pernah nda sih kalian mengalamami miskomunikasi dengan orang tua khususnya Ibu? Dan bukan hanya sekali, berkali-kali, selalu dan selalu. Sampai-sampai terkadang negatif thinking duluan, bila handphone berdering dan ada nama Ibu tertulis di sana.
Hubunganku dengan Ibu memang tidak terlalu dekat. Pekerjaan Ibu sebagai pedagang kain membuatnya selalu meninggalkanku di rumah. Saya cenderung lebih dekat ke Bapak, yang seorang pensiunan guru. Semasa hidupnya bapak lebih banyak menemaniku tumbuh besar, mengantarku ke sekolah dan mengajariku banyak hal.
Selepas SMP, saya pindah ke Makassar, masuk ke SMA Kejuruan. Selepas SMA saya pindah ke Jakarta selama 2 tahun. Hal ini malah memperparah hubunganku dengan Ibu. Setahun terakhir saya di Jakarta, selalu diisi dengan perdebatan. Berita2 mengenai Jakarta yg muncul di layar kaca membuat Ibu berkeras klo saya harus pulang kuliah di Mks, sedangkan saya berkeras tidak ingin pulang dan ingin kuliah di Jakarta saja. Akhirnya kami mmebuat kesepakatan, saya akan pulang ikut UMPTN. Jika lulus, maka saya kuliah, jika tidak lulus maka saya akan kembali ke Jakarta.
Dan ternyata Tuhan mendengar doa Ibu, saya lulus. Yah, karena niatnya memang sudah tidak full pada awalnya, seperti itulah. Saya selesai kuliah ketika DO sudah di depan mata. Itu pun setelah perdebatan panjang dan mengakibatkan saya tidak mendapat subsidi setelah 5 tahun masa kuliah berlalu.
Kelar kuliah bukan berarti selesai, finish, aman! Dimulai lagi perdebatan tentang masalah pekerjaan. Saya harus jadi PNS! Oh Tuhan š Tiap kali ada penerimaan CPNS seperti bulan lalu, setiap kali saya pulang kampung, yang didiskusikan pasti itu. Tambahkan dengan ponakan yang bandelnya minta ampun, maka hasilnya adalah percikan2 yang siap meledak setiap saat.
Ibu saya orangnya keras hati. Dan saya keras kepala, cengeng dan manja. Jadilah seperti batu ketemu batu. Setiap perdebatan hanya akan berakhir dengan 2 hal, saya yg menangis atau ibu yang tersedu. Seharusnya lah saya bisa menjadi air, yang bisa melubangi batu meski dengan tetesan-tetesan. Tapi entah mengapa, setiap kali berbicara dengan Ibu yang ada di kepala hanya “fight!”. Terkadang, setelah pertengkaran, seperti tadi misalnya, saya akan merasakan penyesalan yang dalam. Saya akan tersedu-sedu, membayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi di rumah di Kampung. Mungkin saja ibu terkena sesak napas, tekanan darahnya naik atau kenapa-kenapa dan itu di sebabkan oleh saya dan saya belum sujud di kakinya minta maaf. Ya Allah T_T
Pikiran-pikiran seperti itu akhirnya membuat saya mengambil HP dan mengirim sms meminta maaf. Sms? padahal seharusnya saya menelfon, berbicara langsung, tapi saya terlalu takut (atau terlalu gengsi?).
Ego yang tinggi, memang menjadi bumerang untuk diri sendiri. Mungkin saya memang harus mulai memikirkan ke depan bagaimana. Mungkin memang saya harus mengalah dengan keinginan Ibu, pulang kampung dan mengikuti tes CPNS. Saya memang masih harus banyak belajar, mengedalikan emosi dan ego diri sendiri, sebelum terlambat dan saya menyesal di kemudian hari.
Ingin kudekap dan menangis dipangkuanmu
Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
Lalu do’a-do’a baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas…
Jadi ingin pulang kerumah *ingat ibu
Jadi ingat Ummi ku di kampung
Btw…nani kangen…wew saya dah gaptek banget…asli JADUL hiksz…T_T
nangiska’ baca postinganmu ini, Nanie.. :'(