Masih jelas terbayang dalam ingatan, ketika siang itu saya berteriak dan menangis. Kalau diingat kembali, penyebabnya hanyalah hal yang sepele tapi ntahlah, seakan apa yang saya simpan di hati akhirnya bermuara dan meledak tanpa bisa tertahan.
Berkaca pada pengalaman saat kelahiran Ridwan di mana saya mengalami baby blues yang cukup parah, kali ini saya berusaha mempersiapkan diri. Minggu-minggu awal setelah adek Rayhan lahir, saya pikir saya berhasil mengatasinya. Saya tidak pernah menangis diam-diam, ASI keluar cukup cepat, baby Rayhan menyusu dengan lancar tanpa drama menangis berlebihan ah sungguh dia bayi yang manis sekali, berat badannya naik bertahap sesuatu yang dulu sangat kukhawatirkan, pun pak suami sangat membantu dalam hal pekerjaan rumah tangga ataupun mengurus adek bayi dan kakak Ridwan.
Tapi tak disangka, saya kecolongan.
Bulan Desember adalah bulan di mana pak suami sangat sibuk di kantor, kadang pulang sore lalu balik lagi ke kantor di malam hari dan pulang tengah malam. Dulu sih ga masalah, saya malah sangat menikmati waktu di rumah leyeh-leyeh bersama Ridwan. Tapi kondisinya berbeda ketika habis lahiran. Tanpa saya sadari, ternyata saya merasa kesepian.
Pagi Ridwan sekolah, pulang siang. Pak suami ngantor pagi, kadang pulang siang sebentar lalu balik kantor lagi. Kadang pulang sore, lalu malam ke kantor lagi. Saat di rumah, setelah memastikan semua kebutuhan anak-anak terpenuhi, mulailah dia tenggelam dengan ponsel di tangan berselancar di dunia maya dan menonton youtube karena baginya itulah me timenya. Kadangkala kami bercakap, tapi seringnya saya berdiam diri dan juga tenggelam dengan ponsel. Hingga di titik saya sadar, saya butuh teman ngobrol. Sebulan di rumah paska melahirkan, betul-betul di rumah karena saya hanya keluar saat adek bayi dibawa ke klinik untuk imunisasi. Saya juga bukan type orang yang suka bertetangga, bertamu dan mengobrol di rumah tetangga berjam-jam tanpa henti.
Mulailah saya memancing-mancing percakapan di sela-sela aktivitasnya menonton Baim bosquee atau Hobi Makan. Sesekali ditanggapi, lebih seringnya tidak. Taulah ya laki-laki kalau sudah fokus di sesuatu 😀 Kali lain saya coba lagi bahas ini itu sambil ngemil santai di sore hari, eh dijawabnya ah nda usah mi urusi itu. Kata-kata yang sebenarnya biasa terucap kalau saya terlalu kepo ingin tau sesuatu. Tapi jadi jleb rasanya di saat hormonmu sedang tidak stabil hiks saya hanya berusaha mencari bahan obrolan.
Salahnya, saya diam, diam dan terus diam. Hingga di suatu waktu saya meledak.
Saya masih ingat, hari itu hari Jumat, hari libur, pak Suami nda ngantor dan Ridwan nda sekolah. Saya bangun kesiangan karena malamnya baby Rayhan begadang dan baru tertidur menjelang subuh. Panaskan maki air, nanti sy mandikan adek abis sholat Jumat, begitu pesannya sebelum berangkat ke masjid. Selama sebulan itu, memang pak suami yang selalu memandikan si bayi.
Sepulang dari masjid, tiba-tiba bilang kalau dia ga bisa mandikan adek Rayhan, sudah ditunggu di kantor dan mau berangkat sekarang. Ntah kenapa, saya rasanya kecewa sekali, padahal dulu-dulu juga biasa saja kalau hari libur begini dan pak Suami tiba-tiba harus ke kantor. Saya nangis menjerit, berbicara dengan nada tinggi. Ditanggapi sama pak Suami, saya balas dengan lebih panjang. Sampai akhirnya keluarlah kata-kata kalau saya kesepian, saya butuh teman ngobrol. Bukan hanya bicara di grup-grup wa, tapi berhadapan, berbicara, bertukar pikiran, bercerita hal remeh-remeh.
Hari itu berakhir dengan baik. Kami berusaha memperbaiki kembali komunikasi.
Baby blues adalah hal yang lumrah terjadi pada perempuan yang abis lahiran. Perubahan kondisi hormon di dalam tubuh dapat menyebabkan ibu menjadi mudah lelah, perubahan emosi, hingga depresi. Selain perubahan hormon, kelelahan karena merawat bayi yang baru lahir pun dapat menjadi penyebab Baby Blues Syndrome. Perasaan depresi pun bisa muncul karena perubahan pola tidur.
Pada ibu yang mengalami baby blues umumnya merasakan gejala seperti emosi yang labil, mudah marah dan mudah pula merasa sedih sampai menangis, sering merasa lelah, sulit tidur dan sakit kepala, kadang merasa takut dan cemas yang sebenarnya tak beralasan, juga kurang percaya diri.
Gejala-gejala yang dulu saya rasakan saat melahirkan kakak Ridwan. Saya bisa menangis tanpa sebab, merasa tidak berguna karena ASI lama keluarnya, merasa ketakutan ga bisa jadi ibu kok Ridwan kalau nangis lalu saya gendong ga mau diam, giliran digendong nenek aji eh langsung diam anteng. Akhirnya saya cemburu dan merasa kalau ih ini anak saya, kenapa harus orang lain yang kasi diam. Dikekep dah tuh bayi 😀 Kalau diingat sekarang berasa lucu dan aneh, padahal dulu menjalaninya sambil nangis-nangis hampir tiap hari dipukpuk sama pak suami wkwkkw.
Baby blues bisa dialami hingga 80% ibu melahirkan. Sebagian bisa hilang dengan cepat saat ibu sudah bisa menyesuaikan diri, sebagian lagi menetap dan meningkat menjadi depresi paska melahirkan alias postpartum depression, tingkat depresi yang lebih parah lagi bahkan terkadang ada yang sampai halu mendengar suara-suara. Mungkin pernah dengar kasus Andrea Yates yang menenggelamkan kelima anaknya di bak mandi mereka pada tahun 2001. Saya menangis baca bukunya, kisah Andrea Yates, ibu yang menewaskan 5 anaknya sendiri. Di Indonesia sendiri juga pernah ada beberapa kasus seperti ini, ntah anak-anaknya ditenggelamkan, dibekap atau ditusuk.
Baby blues ataupun post partum depression adalah masalah kesehatan mental yang biasa terjadi setelah persalinan. Di balik kebahagiaan dan kegembiraan setelah melahirkan, juga tidak dipungkiri terselip rasa cemas, khawatir dan sesuatu yang tak terduga seperti depresi.
Di sinilah pentingnya dukungan penuh dari orang-orang terdekat. Komunikasi yang baik dengan pasangan bisa menjadi kunci agar ibu terhindar dari depresi pasca melahirkan. Pesan saya kepada para suami, dengarkan istrimu, bantu dia, ajak bicara, berkomunikasilah. Kalian bisa menyelamatkan banyak nyawa, istrimu dan anakmu.
Beberapa ibu mungkin saja butuh bantuan profesional seperti dokter atau psikolog agar hati dan pikirannya lebih tenang. Tapi sayangnya, di Indonesia masih melekat stigma kalau konsultasi ke psikolog atau dokter jiwa maka dianggap orang gila. Nah solusinya, bisa konsultasi online dengan psikolog atau dokter jiwa melalui layanan kesehatan online. Salah satu yang saya rekomendasikan adalah berkonsultasi melalui website dan aplikasi Halodoc.
Halodoc merupakan aplikasi kesehatan yang memberikan solusi kesehatan lengkap dan terpercaya. Dengan Halodoc, bisa konsultasi langsung dengan dokter umum ataupun spesialis, cari obat, bahkan menemukan rumah sakit terdekat. Kita bisa memilih berbagai metode komunikasi seperti Chat dan Voice/Video Call dari smartphone kapan saja, di mana saja. Dengan begini konsultasi bisa berjalan santai tanpa ketahuan orang lain, ibu pun bisa diberi rujukan untuk tindakan-tindakan selanjutnya.
Peluk sayang untuk ibu-ibu di luar sana yang sedang mengalami baby blues ataupun post partum depression. Jangan takut untuk mencari bantuan, ya.
Oh jadi baby blues syndrom itu yang kena mamaknya, saya kira bayinya kenapa… 😀 lebih ke psikologis sepertinya yah kak, perubahan hormon, depresi, merasa kesepian… 🙂 sabar-sabar maki kak, saya lagi baru tau kalau baby blues tuh seperti ini padahal anak sudah 3 dan besar-besar -___-
Kalau saya mungkin kak Rahmat yang kena baby blues dih kak saking bateku tong bicara terus kalo ada yang mengganjal di hati… Ndak mau ka saya ada dalam konflik perasaan sendiri, pokoknya saya harus bahagia biarmi orang lain endak. XD
begitu ya kak ujian setelah melahirkan, emang harus banget komunikasi suami istri diperbaiki